Pernah gak sih, kamu lagi overthinking tengah malam dan malah buka aplikasi AI buat curhat? Tenang, kamu gak sendirian. Makin ke sini, makin banyak orang yang menjadikan chatbot atau AI sebagai tempat berkeluh kesah. Alasannya sederhana: AI gak menghakimi, selalu “ada,” dan jawabannya kadang lebih masuk akal daripada manusia.
Tapi, apakah ini solusi yang sehat, atau justru ancaman baru?
Di satu sisi, AI memang memberikan rasa nyaman. Untuk mereka yang kesepian, susah percaya orang, atau sedang dalam tekanan, AI bisa jadi tempat “bicara” tanpa takut dicibir. AI juga gak capek dengerin cerita kita yang itu-itu lagi. Ia hadir 24 jam, tanpa drama.
Advertisement: 0:05
Close Player
Namun di sisi lain, ada hal yang gak bisa digantikan. AI, sehebat apa pun algoritmanya, tetaplah mesin. Ia merespons berdasarkan data, bukan empati. Ia memahami pola, tapi tak memahami perasaan. Ketika kita terlalu bergantung pada AI untuk curhat, kita berisiko mengurangi kemampuan untuk membangun hubungan nyata dengan manusia lain.
Ada pula kekhawatiran soal privasi. Data yang kita ceritakan ke AI bisa disimpan, dianalisis, bahkan (dalam sistem tertentu) dimanfaatkan. Apakah kita benar-benar tahu ke mana perginya semua cerita pribadi itu?
Fenomena ini juga memberi sinyal: ada yang salah dengan ruang curhat manusia. Banyak orang merasa lebih aman bicara ke bot daripada ke teman. Bukan karena AI lebih pintar, tapi karena manusia sering kali kurang hadir secara emosional. Mungkin ini saatnya kita belajar jadi pendengar yang lebih baik—supaya peran itu gak diambil alih teknologi.
Pada akhirnya, AI sebagai teman curhat adalah refleksi zaman. Ia bisa jadi solusi sementara, tapi jangan sampai kita kehilangan keintiman manusia yang sejati. Karena sehangat apapun jawaban AI, tetap beda rasanya dengan pelukan hangat atau tatapan penuh empati dari seseorang yang benar-benar peduli.
